Senin, 08 Juni 2015

Petrichor

I like it, when you say 'Petrichor' and make the world seems like a garden full of flowers



****


 29 Mei 2011


Titik-titik hujan yang jatuh memaksa gadis itu berlari ke arah toko yang kebetulan tutup dipinggir jalan. Dia sendiri, dengan sweater hijaunya yang basah akibat air yang tertiup angin deras. Tidak hanya itu, rambutnya, sepatunya, bahkan tas selempang yang ia sampirkan di bahunya juga  basah. Tidak ada yang bisa dia perbuat sekarang selain berharap kalau kalau ada taksi yang lewat.
Hari masih siang sebenarnya. Pukul tiga kurang sepuluh menit. Tapi masuknya musim penghujan, jalan yang biasanya ramai terlihat lenggang karena orang-orang lebih memilih duduk nyaman di sofa rumah mereka sambil menikmati hawa dingin hujan. Begitu pula si gadis. Dia akan membayar berapapun supaya bisa bersantai di kasur empuknya sekarang juga. Namun tugas yang dijadwalkan akan diserahkan besok terpaksa ia serahkan hari ini karena suatu halangan, kata dosennya.
Lalu apa yang bias dia perbuat?

Hawa dingin semakin menjadi sampai sampai sweater hijau lembabnya tidak sanggup menahan cubitan-cubitan angin yang berhembus. Dilihatnya lagi jalan harap harap angkutan umum atau apapun akan lewat. Dia benar benar bisa mati kedinginan sekarang. Tapi nihil.
Hanya motor gede hitam yang berhenti di depannya dan siempu turun ikut berteduh disampingnya. Diliriknya lelaki bertubuh jangkung yang sedang menyapu bekas air dari jaket kulit yang ia pakai. Lalu diam. Hanya mereka berdua yang berdiri disana, tidak ada tanda-tanda orang yang lewat sampai sampai terbersit ketakutan di kepala gadis itu. Tidak salah, dia kan cewek?

Lalu ditariknya napas dalam-dalam menghirup aroma hujan yang hinggap di hidungnya, berusaha mencari ketenangan dari hawa dingin yang mengelilingi mereka.
“Petrichor.” Gumam si lelaki sukses membuat gadis disampingnya menoleh,
“Kok lo tau?”
“Tau apa?” tanyanya tetap menghadap hujan yang jatuh di depannya.
“Petrichore.” Lalu lelaki itu tersenyum, samar. Sampai sampai si gadis yakin dia tidak akan menyadari senyum itu kalau dia tidak menatapnya tadi.
Lelaki jangkung itu menoleh, “Emang kenapa?”
“Enggak sih, Cuma jarang aja ada cowok yang tau gituan.” Katanya mengangkat bahu.
“Gue baca buku.”
“Oh ya? Gue suka buku. Buku apa aja?” dia merutuk dalam hati. Kepo sekali batinnya.
“Semua.”
“Ooh.” Dia mengangguk, tak lagi bertanya takut nanti dikatai sok dekat. Memang dia siapa?
“Lo? Shakespeare?” pertanyaan yang tak terduga, pikir si gadis. Sebenarnya kurang tepat juga dibilang pertanyaan mengingat nada mengejek terselip disana.
Dia menggeleng, “Terlalu berat. Alexandra ivy, Susan ee, Rick Riordan, Rachel Hawkins, kadang Franz Kafka. Tapi juga biografi kayak Augustus, Julius Caesar sih.”
“Hm, Suentonius?”
“Iya itu, tangan kanannya Julius Caesar. Lo baca?” hujan semakin deras saja memaksa mereka duduk di pinggir teras toko, menghindari hujan yang memercik.
Lelaki itu mengangguk. “Beberapa kali, cuma dilewatin part Julius Caesar. Agak berlebihan.” Katanya.
Lama mereka berbincang mengenai apapun yang menyangkut dari pembicaraan mereka. Mulai dari buku, penulis, perpustakaan yang ingin mereka kunjungi sampai aktor-aktor terkenal. Hingga diam-diam mereka bertanya-tanya ke diri mereka masing-masing, bagaimana bisa dua orang yang bahkan tidak mengetahui nama satu sama lain bisa berbicara lugas seperti dua orang yang sudah lama kenal.
Tak terasa hampir tiga jam mereka berteduh dan hujan perlahan-lahan mereda meninggalkan titik-titik pelan yang jatuh dari langit. Dua orang it berdiri, “Hm, lo mau nebeng? Udah malem ngga bakalan ada taksi yang lewat.” Kata lelaki berjaket kulit itu canggung.
“Boleh.” Lagi dia merutuki mulutnya yang terlalu bersemangat. Astaga cowok ini terlalu attracted, pikirnya.
Lalu motor itu berjalan menuju arah yang ditunjuki si gadis, menembus udara dingin yang menyengat.
“Oh ya, gue Galang.” Ucap si lelaki ketika gadis itu berhasil menapakan kakinya di aspal depan rumahya.
Dia tersenyum, tidak menutup-nutupi ketertarikannya. Biar saja, dia kan baru kali ini jatuh cinta. Batinnya geli.
“Fina. Makasih banget udah mau nebengin. Mampir buat teh?” tawarnya gugup.
Galang menggeleng, “Makasih, udah malem. Yaudah gue pulang, Fin.” Ucapnya seraya membelokkan motor gedenya. Baru lidah Fina ingin membalas kemudian terasa kelu ketika suara gedubrak terdengar ngilu.
Di tubuhnya, terlebih di hatinya.
Semua begitu cepat sampai-sampai gadis berambut gelombang itu tidak sadar kakinya mulai meleleh. Lalu semua samar, hitam gelap gulita.




Serafina Pekkala, 29 Mei 2015


Aku ingat ketika semuanya bermula ketika air mengguyur langit Jakarta, memaksaku berlari mencari persinggahan. Sampai kau, datang dengan memakai jaket kulitmu berlari menghindari hujan kearahku. Dan saat itu pula senyumanmu bersarang di momori, mampu melukis pelangi. Hari demi hari tinta penaku mengukir rangkaian kata, menggambarkan sosok dengan motor hitamnya ketika hujan turun dan menciptakan aroma menenangkan yang kau sebut petrichor. Sesungguhnya aku tahu dengan pasti dengan kata ‘petrichor’ yang kau ucapkan hari itu, malah terlalu biasa sebenarnya. Hingga lidahmu membuat iramanya berbeda, menciptakan kenyamanan bagi telinga yang mendengarnya.

Hari ini, tepat 1460 hari yang lalu kau menampilkan senyum samarmu sambil berbicara tentang buku. Rasa itu tidak hilang, bahkan menerap dan bertambah seiring berdetaknya jam di dinding.
Hari ini, minggu keempat sabtu cerah, kulangkahkann kaki dijalan setapak yang selalu kulalui. Hari ini, seperti yang rutin kulakukan, kupeluk rangkaian lily putih ditanganku lalu duduk menghadapmu. Dan hari ini, tepat 1460 hari yang lalu senyuman yang pertama dan terakhir kulihat menghias wajah tampan yang kau miliki. Sesuai apa yang kujanjikan pada diriku sendiri, kali ke-96 kubawakan bunga kesukaanku. Kali ke-96 aku menduduki tanah sebelah nisanmu. Dan kesekian juta kalinya aku jatuh cinta padamu.

Aku mencintaimu. Hari ini, besok, dan semoga sampai kapanpun.

Tenang, aku akan tetap melanjutkan hidupku, sayang. Dengan kenangan 14.467 detik yang pernah kau berikan. Aku berjanji.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar