I like it, when you say 'Petrichor' and make the world seems like a garden full of flowers
****
29 Mei 2011
Titik-titik hujan yang jatuh
memaksa gadis itu berlari ke arah toko yang kebetulan tutup dipinggir jalan.
Dia sendiri, dengan sweater hijaunya yang basah akibat air yang tertiup angin deras. Tidak hanya itu, rambutnya, sepatunya, bahkan tas selempang yang ia
sampirkan di bahunya juga basah. Tidak ada yang bisa dia perbuat sekarang
selain berharap kalau kalau ada taksi yang lewat.
Hari masih siang sebenarnya.
Pukul tiga kurang sepuluh menit. Tapi masuknya musim penghujan, jalan yang
biasanya ramai terlihat lenggang karena orang-orang lebih memilih duduk nyaman
di sofa rumah mereka sambil menikmati hawa dingin hujan. Begitu pula si gadis.
Dia akan membayar berapapun supaya bisa bersantai di kasur empuknya sekarang
juga. Namun tugas yang dijadwalkan akan diserahkan besok terpaksa ia serahkan
hari ini karena suatu halangan, kata dosennya.
Lalu apa yang bias dia perbuat?
Hawa dingin semakin menjadi
sampai sampai sweater hijau lembabnya tidak sanggup menahan cubitan-cubitan
angin yang berhembus. Dilihatnya lagi jalan harap harap angkutan umum atau apapun akan lewat. Dia benar benar bisa mati kedinginan sekarang. Tapi nihil.
Hanya motor gede hitam yang
berhenti di depannya dan siempu turun ikut berteduh disampingnya. Diliriknya
lelaki bertubuh jangkung yang sedang menyapu bekas air dari jaket kulit yang ia pakai. Lalu diam.
Hanya mereka berdua yang berdiri disana, tidak ada tanda-tanda orang yang lewat
sampai sampai terbersit ketakutan di kepala gadis itu. Tidak salah, dia kan
cewek?
Lalu ditariknya napas
dalam-dalam menghirup aroma hujan yang hinggap di hidungnya, berusaha mencari
ketenangan dari hawa dingin yang mengelilingi mereka.
“Petrichor.” Gumam si lelaki
sukses membuat gadis disampingnya menoleh,
“Kok lo tau?”
“Tau apa?” tanyanya tetap
menghadap hujan yang jatuh di depannya.
“Petrichore.” Lalu lelaki itu
tersenyum, samar. Sampai sampai si gadis yakin dia tidak akan menyadari senyum
itu kalau dia tidak menatapnya tadi.
Lelaki jangkung itu menoleh,
“Emang kenapa?”
“Enggak sih, Cuma jarang aja
ada cowok yang tau gituan.” Katanya mengangkat bahu.
“Gue baca buku.”
“Oh ya? Gue suka buku. Buku apa
aja?” dia merutuk dalam hati. Kepo sekali batinnya.
“Semua.”
“Ooh.” Dia mengangguk, tak lagi
bertanya takut nanti dikatai sok dekat. Memang dia siapa?
“Lo? Shakespeare?” pertanyaan
yang tak terduga, pikir si gadis. Sebenarnya kurang tepat juga dibilang
pertanyaan mengingat nada mengejek terselip disana.
Dia menggeleng, “Terlalu berat.
Alexandra ivy, Susan ee, Rick Riordan, Rachel Hawkins, kadang Franz Kafka. Tapi
juga biografi kayak Augustus, Julius Caesar sih.”
“Hm, Suentonius?”
“Iya itu, tangan kanannya
Julius Caesar. Lo baca?” hujan semakin deras saja memaksa mereka duduk di
pinggir teras toko, menghindari hujan yang memercik.
Lelaki itu mengangguk.
“Beberapa kali, cuma dilewatin part Julius Caesar. Agak berlebihan.”
Katanya.
Lama mereka berbincang mengenai
apapun yang menyangkut dari pembicaraan mereka. Mulai dari buku, penulis,
perpustakaan yang ingin mereka kunjungi sampai aktor-aktor terkenal. Hingga diam-diam
mereka bertanya-tanya ke diri mereka masing-masing, bagaimana bisa dua orang
yang bahkan tidak mengetahui nama satu sama lain bisa berbicara lugas seperti
dua orang yang sudah lama kenal.
Tak terasa hampir tiga jam
mereka berteduh dan hujan perlahan-lahan mereda meninggalkan titik-titik pelan
yang jatuh dari langit. Dua orang it berdiri, “Hm, lo mau nebeng? Udah malem
ngga bakalan ada taksi yang lewat.” Kata lelaki berjaket kulit itu canggung.
“Boleh.” Lagi dia merutuki
mulutnya yang terlalu bersemangat. Astaga cowok ini terlalu attracted,
pikirnya.
Lalu motor itu berjalan menuju
arah yang ditunjuki si gadis, menembus udara dingin yang menyengat.
“Oh ya, gue Galang.” Ucap si
lelaki ketika gadis itu berhasil menapakan kakinya di aspal depan rumahya.
Dia tersenyum, tidak
menutup-nutupi ketertarikannya. Biar saja, dia kan baru kali ini jatuh cinta. Batinnya
geli.
“Fina. Makasih banget udah mau
nebengin. Mampir buat teh?” tawarnya gugup.
Galang menggeleng, “Makasih,
udah malem. Yaudah gue pulang, Fin.” Ucapnya seraya membelokkan motor gedenya. Baru
lidah Fina ingin membalas kemudian terasa kelu ketika suara gedubrak terdengar
ngilu.
Di tubuhnya, terlebih di
hatinya.
Semua begitu cepat
sampai-sampai gadis berambut gelombang itu tidak sadar kakinya mulai meleleh. Lalu
semua samar, hitam gelap gulita.
Serafina Pekkala, 29 Mei 2015
Aku ingat ketika semuanya
bermula ketika air mengguyur langit Jakarta, memaksaku berlari mencari
persinggahan. Sampai kau, datang dengan memakai jaket kulitmu berlari
menghindari hujan kearahku. Dan saat itu pula senyumanmu bersarang di momori,
mampu melukis pelangi. Hari demi hari tinta penaku mengukir rangkaian
kata, menggambarkan sosok dengan motor hitamnya ketika
hujan turun dan menciptakan aroma menenangkan yang kau sebut petrichor. Sesungguhnya
aku tahu dengan pasti dengan kata ‘petrichor’
yang kau ucapkan hari itu, malah terlalu biasa sebenarnya. Hingga lidahmu
membuat iramanya berbeda, menciptakan kenyamanan bagi telinga yang mendengarnya.
Hari ini, tepat 1460 hari yang
lalu kau menampilkan senyum samarmu sambil berbicara tentang buku. Rasa itu tidak
hilang, bahkan menerap dan bertambah seiring berdetaknya jam di dinding.
Hari ini, minggu keempat sabtu
cerah, kulangkahkann kaki dijalan setapak yang selalu kulalui. Hari ini,
seperti yang rutin kulakukan, kupeluk rangkaian lily putih ditanganku lalu
duduk menghadapmu. Dan hari ini, tepat 1460 hari yang lalu senyuman yang
pertama dan terakhir kulihat menghias wajah tampan yang kau miliki. Sesuai apa
yang kujanjikan pada diriku sendiri, kali ke-96 kubawakan bunga kesukaanku. Kali
ke-96 aku menduduki tanah sebelah nisanmu. Dan kesekian juta
kalinya aku jatuh cinta padamu.
Aku mencintaimu. Hari ini,
besok, dan semoga sampai kapanpun.
Tenang, aku akan tetap melanjutkan
hidupku, sayang. Dengan kenangan 14.467 detik yang pernah kau berikan. Aku berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar